Subscribe Us

Header Ads

CINTA


 

 

Jika benar tubuh manusia adalah semesta kecil, pastilah lautan di belakang mata kita.

Di hari selasa yang api; lautan di mataku pasang dan berbadai. Tak lain dan tak bukan, karena purnama telah memilih dada kirimu sebagai rumah.

Memang benar lautan itu di belakang mata kita. Bukankah air mata tak pernah lupa membawa garam?

Selasa yang api. Purnama yang meninggi.
Pecahlah ombak-ombak, menepi ke pantai dengan rasa asin yang sulit terbantahkan lagi.

Post a Comment

4 Comments

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Fur Mia (Puisi Sulaiman Djaya)

    Di hutan-hutan malam alis matamu,
    aku adalah angin yang singgah pada daun.
    Aku tulis senja pada dinding hujan,
    kesepian menjegalku seperti badai yang tiba-tiba.

    Di kotaku saat kau datang, selepas isya,
    raut lampu dan gerimis yang antri
    seperti senar-senar gitar yang kaupetik
    berkejaran bersama baris-baris sajak.

    Seandainya, dengan keraguan atau keikhlasan,
    selalu dapat kucium aroma rambutmu.
    Sebagaimana seorang ibu menitipkan
    sejumlah kenangan anak lelaki

    yang tak bahagia.
    Begitulah kutulis sajak ini sebagai kesaksian.
    Saat aku selalu tahu
    pada ketidakmengertianku

    kenapa seorang lelaki acapkali memahami
    tasbih musim dan zikir akhir Januari
    sebagai sepi yang intim
    di pelupuk magrib.

    (SD, 2014)

    ReplyDelete