Jika benar tubuh manusia adalah semesta kecil, pastilah lautan di belakang mata kita.
Di hari selasa yang api; lautan di mataku pasang dan berbadai. Tak
lain dan tak bukan, karena purnama telah memilih dada kirimu sebagai
rumah.
Memang benar lautan itu di belakang mata kita. Bukankah air mata tak pernah lupa membawa garam?
Selasa yang api. Purnama yang meninggi.
Pecahlah ombak-ombak, menepi ke pantai dengan rasa asin yang sulit terbantahkan lagi.
4 Comments
Kereeeeennnnnn.................
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAku sayang kamu.....Mia!
ReplyDeleteFur Mia (Puisi Sulaiman Djaya)
ReplyDeleteDi hutan-hutan malam alis matamu,
aku adalah angin yang singgah pada daun.
Aku tulis senja pada dinding hujan,
kesepian menjegalku seperti badai yang tiba-tiba.
Di kotaku saat kau datang, selepas isya,
raut lampu dan gerimis yang antri
seperti senar-senar gitar yang kaupetik
berkejaran bersama baris-baris sajak.
Seandainya, dengan keraguan atau keikhlasan,
selalu dapat kucium aroma rambutmu.
Sebagaimana seorang ibu menitipkan
sejumlah kenangan anak lelaki
yang tak bahagia.
Begitulah kutulis sajak ini sebagai kesaksian.
Saat aku selalu tahu
pada ketidakmengertianku
kenapa seorang lelaki acapkali memahami
tasbih musim dan zikir akhir Januari
sebagai sepi yang intim
di pelupuk magrib.
(SD, 2014)