Subscribe Us

Header Ads

SURAT PENJUAL LAYANG-LAYANG


Surat di atas layang-layang, satu terbang kemalaman. Gelasan sayat tubuhnya sendiri dan lari dari kemudi tangan yang tak henti dipanggil ibunya datang makan malam. Gelap buat mereka yang bercengkrama di kala petang saling melepaskan sepenuh diam. Layang-layang limbung, kata-kata yang berjejalan mulai menuntut satu tujuan.

“Kita sudah tamat” bisiknya.

Barangkali pucuk pohon yang besar adalah rumah abadi. Dimana kita berdua compang-camping dan mati tanpa kuburan. Atau mungkin, tempat-tempat tinggi yang sulit terjangkau bocah-bocah bergalah adalah memang kuburan kita.

sabar menunggu itu seperti tanah retak yang ingin dikejutkan hujan.

Di sebuah rumah ada tangan yang ciduk nasi dengan gemetaran. Sesekali matanya curi lihat ke luar jendela. Seperti sia-sia karena lagi-lagi yang dijumpai di wajah jendela adalah wajahnya sendiri yang balik menatap. Seakan; yang di luar mengetuk-ngetuk ingin turut makan malam. Angin memelan, ibu sibuk mengipas leher. Pada dentang waktu alam yang mulai luput dari hitungan kalender, pasrah barangkali salah satu jalan untuk memahaminya. Tapi ada sepasang mata masih menyala pandangi jendela. Di luar, harapannya membumbung dan terbang jumpai langit, jumpai kesempatan.

Di atas mulai berkilauan. Cahaya-cahaya mengelebat seperti ingatan bertungkai panjang yang lari-lari, cepat sekali.
Layang-layang ditangkap tangan kilat,
suratnya lantang dibaca petir.
Seketika kata-kata luruh bersama gemuruh hujan.
Kerinduan pada tanah membuat mereka bergegas dan hilang sabar.
Deras.

Di dalam rumah, ibu berhenti mengipas-ngipas. Di sela kucuran keringat senyumnya hilir mudik sibuk sekali. Lebih sempurna dari bunga di pagi hari, itulah yang datang mekar di wajah tuanya. Di ruang makan ada mulut yang kunyah makanan dengan nikmatnya. Jendela kini sudah bertirai. Dia tahu walau pun tak terlihat, tanah-tanah di luar sedang suka cita berpelukan lama sekali dengan kekasihnya yang datang dari negeri yang sangat jauh.

Puluhan layang-layang aneka warna tidur mendengkur di kolong dipan. Digantikannya tugas tanah yang menunggu. Barangkali di musim angin yang akan datang, kemarau tak terlalu hadirkan dahaga berkepanjangan bagi manusia-manusia yang menerbangkannya jauh ke langit, jauh ke tuhan.

Mari berbahagia.


-oktober tanpa layang-layang-

Post a Comment

0 Comments