Subscribe Us

Header Ads

OLEH-OLEH


gedung tinggi penuh kaca. tangga-tangga menjulang, semen-semen putih diam membisu. ada kaki yang menapak sabar. satu demi satu, tanpa bicara libatkan diri pada kegaiban .

Di puncak gedung itu ada jalan yang memanjang. Setapak berwarna putih tanpa pegangan apalagi rambu-rambu. Lantainya dingin, sempit dan licin terlebih hujan datang menyambut kaki yang belum usai dirundung pegal. Kulihat orang-orang di bawah penuh teriakan. Suaranya diredam hujan. Wajah-wajah tampak kecil barangkali pucat dan ketakutan, tangannya melambai-lambai, pakaiannya putih seperti dokter-dokter di rumah sakit. Kecil sekali mereka.  Di atas banyak orang yang tak kukenal berlari-lari. Bergerak mendekat tanpa sodorkan nama, tanpa beritahu apa-apa mengapitku kiri kanan dan aku baru sadar beberapa detik sesudahnya; kaki mereka tak ada satu pun yang menginjak lantai, mereka melayang! Di antara hujan terdingin tubuhku dipaksa lewati setapak yang masih terlalu licin, menuju sebuah pohon yang kupikir mirip pohon belimbing berukuran besar. Lumayan besar.

Kegaiban macam apakah ini. Di bawah pohon hujan berhenti dengan tertibnya. Di bawah pohon, aku takjub pandangi buah-buah bergelantungan. Buah-buah yang mirip dengan gelayutan air. Begitu lebat dan bening seperti balon-balon berisi air yang dindingnya setipis gelembung. Orang-orang yang semula ada menjadi tidak ada. Mereka hilang ketika mataku pandangi buah-buah yang menurutku luar biasa. Aku abaikan keheranan tentang pohon tumbuh di lantai semen. Dadaku penuh dengan puji-pujian paling manis. Sihir! Ini sihir!

Tapi tiba-tiba hujan kembali tampakan diri. Ah ya. Lihatlah hujan itu hanya turun di luar naungan pohon. Deras tanpa suara seakan kehilangan tenaganya. Si hujan-hujan itu, mereka  begitu deras namun tampak  lemas tanpa semangat. Kupikir seperti hujan yang tengah jalankan ritual. Apakah mereka bosan? Entahlah. Kaca-kaca jendela gedung mulai penuh jalur retakan. Semen putih tak lagi berundak-undak. Tangganya hilang! Sial, curah hujan menghalangi pandanganku setidaknya untuk pastikan nasib tangga yang akan membantuku pulang. Apa yang harus kulakukan disini? Sendiri dan celingukan di tengah kurungan hujan dan jalan pulang yang mengecil. Dengan mata terpicing kupandangi buah-buah bening yang bergelantungan di atas.
“jika aku lapar, apa dagingmu itu sungguh-sungguh daging buah?”

Lalu riuh.

Darimana datangnya orang-orang itu. yang datang lalu bergantian menatap dan berucap "tidurlah, tidurlah". tubuh mereka kuyup, tangan-tangan mendekap dada, hanya mata seperti menyala. aku takut, aku bergerak menurut, aku rebah.

Keganjilan belum usai. Kupikir dulu aku sering mainkan gaya-gaya semacam ini ketika kecil; menendang pohon! Orang-orang itu satu-persatu mulai tendangi batang pohon seperti tengah bercanda untuk gugurkan air bekas hujan di daun-daun seperti yang pernah aku lakukan, kau lakukan, kita semua pernah lakukan. Mataku belum tertutup ketika buah-buah bening yang barangkali buahnya air hujan itu menimpa tubuhku, mataku, menimpa dan pecah seolah bunuh diri begitu saja. Pyar pyar pyar! Semuanya basah dan kuyup kembali; tubuhku yang baru kering dari sisa hujan di perjalanan.

orang-orang belum berhenti menendangi, buah-buah belum usai pecahkan diri. aku melayang. tidak kedinginan, tidak sama sekali.

Udara tenggelam, angin makin diam. Hujan di luar pohon masih deras namun tetap seperti teriakan orang-orang yang sempat kusaksikan; tak ada suara. Bagiku itu sebuah keheningan yang ganjil dan aku melayang saja tak jelas rasa di tengah gerak teratur yang tendangi pohon, di tengah jatuhan buah-buah aku nyaris hilang bentuk tanpa kesadaran. Bisa jadi sekejap lenyap. Ketika itu mungkin aku meluputkan satu gerakan. Ialah dia yang menyeruak dari sekumpulan orang-orang. Pakaiannya abu dan berbeda. Apakah dia dokter? Apakah dia penendang pohon? Aku tak banyak peduli hingga akhirnya dipaksa peduli karena tangannya menggamitku ajak berdiri, ajak berlari.

dibawanya aku terobos hujan yang sesungguhnya. kembali ke jalan setapak yang lantainya licin, tanpa kata, tanpa dunia. Hanya lari, hanya berlari.
hujan yang sesungguhnya belum pernah terasa sedingin ini. Tubuhku menggigil, suara angin berderu-deru. ya tuhan; inilah dingin yang begitu hadirkan cemas. kamu dimana?

Hingga sampai terbangun dari mimpi, seingatku kami berdua masih sibuk kedinginan dan waspada licin. Berlari-lari cari jalan turun di atas gedung yang jendelanya hanya kaca-kaca, cari yang mungkin saja secangkir kopi dan kursi kering untuk saling berkenalan dan tertawakan semua keganjilan. Sayang sekali aku sudah terbangun. Sayang sekali karena mimpi buruk sekalipun jika ditemani seseorang ternyata membuat dadaku dibalut aman. Apa itu lebih baik dari terjaga sendirian?

"Tuhan kamu dimana?"

Dini hari ini sepertinya aku tahu dia dimana. Tuhan yang sempat kucari-cari dalam mimpi, aku mulai tahu dia dimana. Kurasa dia ada di sisa ingatan tentang sebuah telapak tangan yang menyeretku pergi.

Dia siapa?

Post a Comment

0 Comments