gedung tinggi penuh kaca. tangga-tangga menjulang,
semen-semen putih diam membisu. ada kaki yang menapak sabar. satu demi satu,
tanpa bicara libatkan diri pada kegaiban .
Di puncak gedung itu ada jalan yang memanjang. Setapak
berwarna putih tanpa pegangan apalagi rambu-rambu. Lantainya dingin, sempit dan
licin terlebih hujan datang menyambut kaki yang belum usai dirundung pegal.
Kulihat orang-orang di bawah penuh teriakan. Suaranya diredam hujan.
Wajah-wajah tampak kecil barangkali pucat dan ketakutan, tangannya
melambai-lambai, pakaiannya putih seperti dokter-dokter di rumah sakit. Kecil
sekali mereka. Di atas banyak orang yang
tak kukenal berlari-lari. Bergerak mendekat tanpa sodorkan nama, tanpa beritahu
apa-apa mengapitku kiri kanan dan aku baru sadar beberapa detik sesudahnya;
kaki mereka tak ada satu pun yang menginjak lantai, mereka melayang! Di antara
hujan terdingin tubuhku dipaksa lewati setapak yang masih terlalu licin, menuju
sebuah pohon yang kupikir mirip pohon belimbing berukuran besar. Lumayan besar.
Kegaiban macam apakah ini. Di bawah pohon hujan berhenti
dengan tertibnya. Di bawah pohon, aku takjub pandangi buah-buah bergelantungan.
Buah-buah yang mirip dengan gelayutan air. Begitu lebat dan bening seperti
balon-balon berisi air yang dindingnya setipis gelembung. Orang-orang yang
semula ada menjadi tidak ada. Mereka hilang ketika mataku pandangi buah-buah
yang menurutku luar biasa. Aku abaikan keheranan tentang pohon tumbuh di lantai
semen. Dadaku penuh dengan puji-pujian paling manis. Sihir! Ini sihir!
Tapi tiba-tiba hujan kembali tampakan diri. Ah ya. Lihatlah
hujan itu hanya turun di luar naungan pohon. Deras tanpa suara seakan
kehilangan tenaganya. Si hujan-hujan itu, mereka begitu deras namun tampak lemas tanpa semangat. Kupikir seperti hujan
yang tengah jalankan ritual. Apakah mereka bosan? Entahlah. Kaca-kaca jendela
gedung mulai penuh jalur retakan. Semen putih tak lagi berundak-undak.
Tangganya hilang! Sial, curah hujan menghalangi pandanganku setidaknya untuk
pastikan nasib tangga yang akan membantuku pulang. Apa yang harus kulakukan
disini? Sendiri dan celingukan di tengah kurungan hujan dan jalan pulang yang
mengecil. Dengan mata terpicing kupandangi buah-buah bening yang bergelantungan
di atas.
“jika aku lapar, apa dagingmu itu sungguh-sungguh daging
buah?”
Lalu riuh.
Darimana datangnya orang-orang itu. yang datang lalu
bergantian menatap dan berucap "tidurlah, tidurlah". tubuh mereka
kuyup, tangan-tangan mendekap dada, hanya mata seperti menyala. aku takut, aku
bergerak menurut, aku rebah.
Keganjilan belum usai. Kupikir dulu aku sering mainkan
gaya-gaya semacam ini ketika kecil; menendang pohon! Orang-orang itu
satu-persatu mulai tendangi batang pohon seperti tengah bercanda untuk gugurkan
air bekas hujan di daun-daun seperti yang pernah aku lakukan, kau lakukan, kita
semua pernah lakukan. Mataku belum tertutup ketika buah-buah bening yang
barangkali buahnya air hujan itu menimpa tubuhku, mataku, menimpa dan pecah
seolah bunuh diri begitu saja. Pyar pyar pyar! Semuanya basah dan kuyup
kembali; tubuhku yang baru kering dari sisa hujan di perjalanan.
orang-orang belum berhenti menendangi, buah-buah belum usai
pecahkan diri. aku melayang. tidak kedinginan, tidak sama sekali.
Udara tenggelam, angin makin diam. Hujan di luar pohon masih
deras namun tetap seperti teriakan orang-orang yang sempat kusaksikan; tak ada
suara. Bagiku itu sebuah keheningan yang ganjil dan aku melayang saja tak jelas
rasa di tengah gerak teratur yang tendangi pohon, di tengah jatuhan buah-buah
aku nyaris hilang bentuk tanpa kesadaran. Bisa jadi sekejap lenyap. Ketika itu
mungkin aku meluputkan satu gerakan. Ialah dia yang menyeruak dari sekumpulan
orang-orang. Pakaiannya abu dan berbeda. Apakah dia dokter? Apakah dia
penendang pohon? Aku tak banyak peduli hingga akhirnya dipaksa peduli karena
tangannya menggamitku ajak berdiri, ajak berlari.
dibawanya aku terobos hujan yang sesungguhnya. kembali ke
jalan setapak yang lantainya licin, tanpa kata, tanpa dunia. Hanya lari, hanya
berlari.
hujan yang sesungguhnya belum pernah terasa sedingin ini.
Tubuhku menggigil, suara angin berderu-deru. ya tuhan; inilah dingin yang
begitu hadirkan cemas. kamu dimana?
Hingga sampai terbangun dari mimpi, seingatku kami berdua
masih sibuk kedinginan dan waspada licin. Berlari-lari cari jalan turun di atas
gedung yang jendelanya hanya kaca-kaca, cari yang mungkin saja secangkir kopi
dan kursi kering untuk saling berkenalan dan tertawakan semua keganjilan.
Sayang sekali aku sudah terbangun. Sayang sekali karena mimpi buruk sekalipun
jika ditemani seseorang ternyata membuat dadaku dibalut aman. Apa itu lebih
baik dari terjaga sendirian?
"Tuhan kamu dimana?"
Dini hari ini sepertinya aku tahu dia dimana. Tuhan yang
sempat kucari-cari dalam mimpi, aku mulai tahu dia dimana. Kurasa dia ada di
sisa ingatan tentang sebuah telapak tangan yang menyeretku pergi.
Dia siapa?
0 Comments