Subscribe Us

Header Ads

BAN BEBEK ANAK MARYAM


maryam, kamar kita adalah laut.
di dalamnya kita berenang penuh dengan kecemasan. ah tidak. kaulah yang berenang. kakimu lincah bertahan agar kepala tidak tenggelam seperti batu. sementara, aku masih duduk di atas lemari dengan penuh ketakutan. pagi datang, pagi benderang. laut surut dibawa purnama yang tertidur. kau lemparkan padaku ban bekas berkepala bebek. "itu punya salwa" katamu, sambil lalu di tengah kesibukan membereskan belitan kabel-kabel dan rumput laut.

kali itu mataku masih sembab seperti bocah selesai dipaksa mandi. ingus dan air mata mencabik bedak. dengan bingung aku cari jalan turun "panik memang meluputkan cara naik yang tak kalah sulitnya" rutukku dalam hati.
byur..
kakiku mendarat, air masih sebatas pinggang. ban bebekmu, kudekap erat walau tak ayal tetap kembali ke atas lemari dan menunggu setertib mungkin. matamu mendelik sedang aku pura-pura tertidur.
"kau tak bisa marah padaku"

maryam, kita tak berada di dalam kapal. kita, berada di lautan itu sendiri. terima kasih sudah memberikan apa yang sedang aku dekap sekarang. setidaknya, walau kau sudah tidak menemaniku, aku tak akan terlalu takut sendirian.

gelombang-gelombang tinggikan diri menggapai bulan. dari perutnya banyak tangan yang melambai seperti milik penari yang tersihir kematian. anggap saja aku kerap gentar. anggap saja mar. tapi untukku, ban kepala bebek ini sudah lebih cukup dari uluran tangan laki-laki penjaga pantai berdada kotak-kotak.
"nafas mereka bau. aku tidak suka diberi nafas buatan"

NB: salam peluk dan cium, untuk ibu dari anak yang pernah memiliki ban bekas berkepala bebek. aku akan selalu merindukan malam-malam milik kita. malam-malam berpurnama saat laut busungkan dada dan kita tetap mampu tertawa dengan masing-masing cara.
anggap saja malam ini aku benar-benar sedang merindukan sembulan kepalamu.

Post a Comment

1 Comments